Makalah tentang Hukum Mencintai Sesama Jenis
(Laki dengan laki serta wanita dengan wanita) juga masturbasi dalam islam
BAB I PEMBUKAAN
A. Latar Belakang
Kemajuan IPTEK saat ini merupakan salah satu hasil dari Globalisasi yang merupakan kemajuan dan perkembangan zaman. Dalam kemajuan ini kebudayaan pun ikut berkembang termasuk perkembangan Agama yang di dalamnya terdapat berbagai hal yang sudah barang tentu di zaman dahulu belum ada hal yang terjadi secara pasti pada zaman ini, maka muncullah istilah Ijma dalam menentukan kebenarannya.
Pada kesempatan ini penulis mendapat tugas untuk membuat sebuah makalah yang berkaitan dengan Masail Fikiyah yang artinya masalah-masalah fikih yang muncul baru-baru ini yang tentunya belum terjadi pada masa lalu, maka para ulama fikih sekarang menentukan keputusannya lewat ijma yang dapat mengatasi masalah-masalah tersebut.
Dalam penulisan makalah ini yang berjudul Hukum Mencintai Sesama Jenis (Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita) serta Onani (masturbasi), penulis berharap dapat memberikan wawasan dalam menentukan arah dan perkembangan Fikih di zaman sekarang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan maslah yang akan di bahas pada makalah ini yakni:
Pengertian Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita serta Onani (masturbasi)
Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita serta Onani (masturbasi) menurut pandangan Perundang-undangan yang berlaku.
Hukum Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita serta Onani (masturbasi) berdasarkan para pendapat ulama dan imam yang ada.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita serta Onani (masturbasi)
Hubungan Intim antara pria dengan Pria adalah hubungan Suami Istri antara orang-orang yang sama kelaminnya [1]. Biasanya istilah InI dipakai untuk Hubungan antar pria. liwath atau Hubungan Intim antara pria dengan Pria dilakukan dengan cara memasukan Kemaluan ke dalam anus.
Les bian adalah hubungan Intim antara yang sesama jenis kelaminnya, yaitu wanita dengan wanita [2]. Les bian dilakukan dengan cara melakukan masturbasi satu sama lain dengan berbagai cara untuk mendapatkan puncak kenikmatan.
Onani adalah masturbasi dengan tangan sendiri. Islam memandangnya sebagai perbuatan yang kurang etis dan tidak pantas dilakukan[3]
B. Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita menurut pandangan Perundang-undangan
Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita menurut perundang-undangan RI Vide pasal 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, mengatakan bahwa pelakunya dijerat hukuman penjara paling lama lima tahun.
C. Hukum Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita serta Masturbasi menurut para ulama.
1. Hukum Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita
Hukum Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita adalah haram menurut ijma ulama, tetapi dalam menentukan hukumannya berbeda-beda antara para ulama yakni sebagai berikut:
Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) berpendapat : praktik Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita tidak dikategorikan zina dengan alasan: Pertama: karena tidak adanya unsur (kriteria) kesamaan antara keduanya. unsur menyia-nyiakan anak dan ketidakjelasan nasab (keturunan) tidak didapatkan dalam praktiknya. Kedua: berbedanya jenis hukuman yang diberlakukan para sahabat (sebagaimana di atas). Berdasarkan kedua alasan ini, Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku Hubungan Intim antara pria dengan Pria adalah ta’zir (diserahkan kepada penguasa atau pemerintah).
Menurut Muhammad Ibn Al Hasan As Syaibani dan Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) : praktik Hubungan Intim antara pria dengan Pria dikategorikan zina, dengan alasan adanya beberapa unsur kesamaan antara keduanya, seperti: Pertama, tersalurkannya syahwat pelaku. Kedua, tercapainya kenikmatan (karena penis dimasukkan ke lubang dubur). Ketiga, tidak diperbolehkan dalam Islam. Keempat, menumpahkan (menyia-nyiakan) air mani. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Muhammad Ibn Al Hasan dan Abu Yusuf berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku Hubungan Intim antara pria dengan Pria sama seperti hukuman yang dikenakan kepada pezina, yaitu: kalau pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam (dilempari dengan batu sampai mati), kalau gairu muhshan (perjaka), maka dihukuman cambuk dan diasingkan selama satu tahun.
Menurut Imam Malik praktek Hubungan Intim antara pria dengan Pria dikategorikan zina dan hukuman yang setimpal untuk pelakunya adalah dirajam, baik pelakunya muhshan (sudah menikah) atau gair muhshan (perjaka). Ia sependapat dengan Ishaq bin Rahawaih dan As Sya’bi.
Menurut Imam Syafi’i, praktik Hubungan Intim antara pria dengan Pria tidak dikategorikan zina, tetapi terdapat kesamaan, di mana keduanya sama-sama merupakan hubungan intim terlarang dalam Islam. Hukuman untuk pelakunya: kalau pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam. Kalau gair muhshan (perjaka), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Hal tersebut sama dengan pendapat Said bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah, An Nakha’I, Al Hasan dan Qatadah.
Menurut Imam Hambali, praktik Hubungan Intim antara pria dengan Pria dikategorikan zina. Mengenai jenis hukuman yang dikenakan kepada pelakunya beliau mempunyai dua riwayat (pendapat): Pertama, dihukum sama seperti pezina, kalau pelakunya muhshan (sudah menikah) maka dihukum rajam. kalau pelakunya gair muhshan (perjaka), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. (pendapat inilah yang paling kuat). Kedua, dibunuh dengan dirajam, baik dia itu muhshan atau gair muhshan.
2. Hukum Onani (masturbasi)
Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam permasalahan onani :
1. Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa onani adalah haram. Argumentasi mereka akan pengharaman onani ini adalah bahwa Allah swt telah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali terhadap istri dan budak perempuannya. Apabila seseorang tidak melakukannya terhadap kedua orang itu kemudian melakukan onani maka ia termasuk kedalam golongan orang-orang yang melampaui batas-batas dari apa yang telah dihalalkan Allah bagi mereka dan beralih kepada apa-apa yang diharamkan-Nya atas mereka. Firman Allah swt
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ﴿٥﴾ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٦﴾
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ ﴿٧﴾
Artinya : “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mukminun : 5 – 7)
2. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam keadaan-keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa onani menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak melakukannya. Hal ini juga didasarkan pada kaidah mengambil kemudharatan yang lebih ringan. Namun mereka mengharamkan apabila hanya sebatas untuk bersenang-senang dan membangkitkan syahwatnya. Mereka juga mengatakan bahwa onani tidak masalah jika orang itu sudah dikuasai oleh syahwatnya sementara ia tidak memiliki istri atau budak perempuan demi menenangkan syahwatnya.
3. Para ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali apabila dilakukan karena takut dirinya jatuh kedalam perzinahan atau mengancam kesehatannya sementara ia tidak memiliki istri atau budak serta tidak memiliki kemampuan untuk menikah, jadi onani tidaklah masalah.
4. Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani itu makruh dan tidak ada dosa didalamnya karena seseorang yang menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah boleh menurut ijma seluruh ulama… sehingga onani itu bukanlah suatu perbuatan yang diharamkan. Firman Allah swt
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
Artinya : “Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (QS. Al An’am : 119)
Dan onani tidaklah diterangkan kepada kita tentang keharamannya maka ia adalah halal sebagaimana firman-Nya : Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqoroh : 29)
5. Diantara ulama yang berpendapat bahwa onani itu makruh adalah Ibnu Umar dan Atho’. Hal itu dikarenakan bahwa onani bukanlah termasuk dari perbuatan yang terpuji dan bukanlah prilaku yang mulia. Ada cerita bahwa manusia pada saat itu pernah berbincang-bincang tentang onani maka ada sebagian mereka yang memakruhkannya dan sebagian lainnya membolehkannya.
6. Diantara yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, al Hasan dan sebagian ulama tabi’in yang masyhur. Al Hasan mengatakan bahwa dahulu mereka melakukannya saat dalam peperangan. Mujahid mengatakan bahwa orang-orang terdahulu memerintahkan para pemudanya untuk melakukan onani untuk menjaga kesuciannya. Begitu pula hukum onani seorang wanita sama dengan hukum onani seorang laki-laki. (Fiqhus Sunnah juz III hal 424 – 426)
Dari pendapat-pendapat para ulama diatas tidak ada dari mereka yang secara tegas menyatakan bahwa onani sama dengan zina yang sesungguhnya. Namun para ulama mengatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk kedalam muqoddimah zina (pendahuluan zina), firman Allah swt
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya : “dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32)
BAB III KESIMPULAN
Dari keterangan di atas menyatakan dan menegaskan kepada kita bahwa perbuatan dalam menciantai dan berhubungan intim sesama jenis, baik pria dengan pria ataupun wanita dengan wanita serta onani atau masturbasi adalah tidak bloh bahkan haram. dasar hukum ini merupakan sebauh tolak ukur bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar kaedah dan aturan hukum islam serta orang yang melakukan hal tersebut adalah orang yang tidak mempunyai malu dan adab serta akhlak yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Juhdi Masjfuk, H., Drs., Prof., Masail Fiqiyah, Kapita selekat Hukum Islam, CV Haji Masagung. Jakarta 1994.
Departemen Agama,Al-Quran dan Terjemah. Surabaya Mahkota,Tahun 1989.
H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,prof. Drs, edisi II Cetakan ke-7, Malang,1994
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Libanon, Darul fiqr, 1981
Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyri’ Al-jinai al-Islami Muqaranan bil Qonun al-Wadhi
Moelyanto, KUHP, Jakarta, Bina Aksara, 1985, hlm.127
BAB I PEMBUKAAN
A. Latar Belakang
Kemajuan IPTEK saat ini merupakan salah satu hasil dari Globalisasi yang merupakan kemajuan dan perkembangan zaman. Dalam kemajuan ini kebudayaan pun ikut berkembang termasuk perkembangan Agama yang di dalamnya terdapat berbagai hal yang sudah barang tentu di zaman dahulu belum ada hal yang terjadi secara pasti pada zaman ini, maka muncullah istilah Ijma dalam menentukan kebenarannya.
Pada kesempatan ini penulis mendapat tugas untuk membuat sebuah makalah yang berkaitan dengan Masail Fikiyah yang artinya masalah-masalah fikih yang muncul baru-baru ini yang tentunya belum terjadi pada masa lalu, maka para ulama fikih sekarang menentukan keputusannya lewat ijma yang dapat mengatasi masalah-masalah tersebut.
Dalam penulisan makalah ini yang berjudul Hukum Mencintai Sesama Jenis (Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita) serta Onani (masturbasi), penulis berharap dapat memberikan wawasan dalam menentukan arah dan perkembangan Fikih di zaman sekarang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan maslah yang akan di bahas pada makalah ini yakni:
Pengertian Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita serta Onani (masturbasi)
Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita serta Onani (masturbasi) menurut pandangan Perundang-undangan yang berlaku.
Hukum Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita serta Onani (masturbasi) berdasarkan para pendapat ulama dan imam yang ada.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita serta Onani (masturbasi)
Hubungan Intim antara pria dengan Pria adalah hubungan Suami Istri antara orang-orang yang sama kelaminnya [1]. Biasanya istilah InI dipakai untuk Hubungan antar pria. liwath atau Hubungan Intim antara pria dengan Pria dilakukan dengan cara memasukan Kemaluan ke dalam anus.
Les bian adalah hubungan Intim antara yang sesama jenis kelaminnya, yaitu wanita dengan wanita [2]. Les bian dilakukan dengan cara melakukan masturbasi satu sama lain dengan berbagai cara untuk mendapatkan puncak kenikmatan.
Onani adalah masturbasi dengan tangan sendiri. Islam memandangnya sebagai perbuatan yang kurang etis dan tidak pantas dilakukan[3]
B. Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita menurut pandangan Perundang-undangan
Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita menurut perundang-undangan RI Vide pasal 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, mengatakan bahwa pelakunya dijerat hukuman penjara paling lama lima tahun.
C. Hukum Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita serta Masturbasi menurut para ulama.
1. Hukum Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita
Hukum Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita adalah haram menurut ijma ulama, tetapi dalam menentukan hukumannya berbeda-beda antara para ulama yakni sebagai berikut:
Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) berpendapat : praktik Hubungan Intim antara pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita tidak dikategorikan zina dengan alasan: Pertama: karena tidak adanya unsur (kriteria) kesamaan antara keduanya. unsur menyia-nyiakan anak dan ketidakjelasan nasab (keturunan) tidak didapatkan dalam praktiknya. Kedua: berbedanya jenis hukuman yang diberlakukan para sahabat (sebagaimana di atas). Berdasarkan kedua alasan ini, Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku Hubungan Intim antara pria dengan Pria adalah ta’zir (diserahkan kepada penguasa atau pemerintah).
Menurut Muhammad Ibn Al Hasan As Syaibani dan Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) : praktik Hubungan Intim antara pria dengan Pria dikategorikan zina, dengan alasan adanya beberapa unsur kesamaan antara keduanya, seperti: Pertama, tersalurkannya syahwat pelaku. Kedua, tercapainya kenikmatan (karena penis dimasukkan ke lubang dubur). Ketiga, tidak diperbolehkan dalam Islam. Keempat, menumpahkan (menyia-nyiakan) air mani. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Muhammad Ibn Al Hasan dan Abu Yusuf berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku Hubungan Intim antara pria dengan Pria sama seperti hukuman yang dikenakan kepada pezina, yaitu: kalau pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam (dilempari dengan batu sampai mati), kalau gairu muhshan (perjaka), maka dihukuman cambuk dan diasingkan selama satu tahun.
Menurut Imam Malik praktek Hubungan Intim antara pria dengan Pria dikategorikan zina dan hukuman yang setimpal untuk pelakunya adalah dirajam, baik pelakunya muhshan (sudah menikah) atau gair muhshan (perjaka). Ia sependapat dengan Ishaq bin Rahawaih dan As Sya’bi.
Menurut Imam Syafi’i, praktik Hubungan Intim antara pria dengan Pria tidak dikategorikan zina, tetapi terdapat kesamaan, di mana keduanya sama-sama merupakan hubungan intim terlarang dalam Islam. Hukuman untuk pelakunya: kalau pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam. Kalau gair muhshan (perjaka), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Hal tersebut sama dengan pendapat Said bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah, An Nakha’I, Al Hasan dan Qatadah.
Menurut Imam Hambali, praktik Hubungan Intim antara pria dengan Pria dikategorikan zina. Mengenai jenis hukuman yang dikenakan kepada pelakunya beliau mempunyai dua riwayat (pendapat): Pertama, dihukum sama seperti pezina, kalau pelakunya muhshan (sudah menikah) maka dihukum rajam. kalau pelakunya gair muhshan (perjaka), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. (pendapat inilah yang paling kuat). Kedua, dibunuh dengan dirajam, baik dia itu muhshan atau gair muhshan.
2. Hukum Onani (masturbasi)
Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam permasalahan onani :
1. Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa onani adalah haram. Argumentasi mereka akan pengharaman onani ini adalah bahwa Allah swt telah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali terhadap istri dan budak perempuannya. Apabila seseorang tidak melakukannya terhadap kedua orang itu kemudian melakukan onani maka ia termasuk kedalam golongan orang-orang yang melampaui batas-batas dari apa yang telah dihalalkan Allah bagi mereka dan beralih kepada apa-apa yang diharamkan-Nya atas mereka. Firman Allah swt
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ﴿٥﴾ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٦﴾
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ ﴿٧﴾
Artinya : “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mukminun : 5 – 7)
2. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam keadaan-keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa onani menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak melakukannya. Hal ini juga didasarkan pada kaidah mengambil kemudharatan yang lebih ringan. Namun mereka mengharamkan apabila hanya sebatas untuk bersenang-senang dan membangkitkan syahwatnya. Mereka juga mengatakan bahwa onani tidak masalah jika orang itu sudah dikuasai oleh syahwatnya sementara ia tidak memiliki istri atau budak perempuan demi menenangkan syahwatnya.
3. Para ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali apabila dilakukan karena takut dirinya jatuh kedalam perzinahan atau mengancam kesehatannya sementara ia tidak memiliki istri atau budak serta tidak memiliki kemampuan untuk menikah, jadi onani tidaklah masalah.
4. Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani itu makruh dan tidak ada dosa didalamnya karena seseorang yang menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah boleh menurut ijma seluruh ulama… sehingga onani itu bukanlah suatu perbuatan yang diharamkan. Firman Allah swt
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
Artinya : “Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (QS. Al An’am : 119)
Dan onani tidaklah diterangkan kepada kita tentang keharamannya maka ia adalah halal sebagaimana firman-Nya : Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqoroh : 29)
5. Diantara ulama yang berpendapat bahwa onani itu makruh adalah Ibnu Umar dan Atho’. Hal itu dikarenakan bahwa onani bukanlah termasuk dari perbuatan yang terpuji dan bukanlah prilaku yang mulia. Ada cerita bahwa manusia pada saat itu pernah berbincang-bincang tentang onani maka ada sebagian mereka yang memakruhkannya dan sebagian lainnya membolehkannya.
6. Diantara yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, al Hasan dan sebagian ulama tabi’in yang masyhur. Al Hasan mengatakan bahwa dahulu mereka melakukannya saat dalam peperangan. Mujahid mengatakan bahwa orang-orang terdahulu memerintahkan para pemudanya untuk melakukan onani untuk menjaga kesuciannya. Begitu pula hukum onani seorang wanita sama dengan hukum onani seorang laki-laki. (Fiqhus Sunnah juz III hal 424 – 426)
Dari pendapat-pendapat para ulama diatas tidak ada dari mereka yang secara tegas menyatakan bahwa onani sama dengan zina yang sesungguhnya. Namun para ulama mengatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk kedalam muqoddimah zina (pendahuluan zina), firman Allah swt
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya : “dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32)
BAB III KESIMPULAN
Dari keterangan di atas menyatakan dan menegaskan kepada kita bahwa perbuatan dalam menciantai dan berhubungan intim sesama jenis, baik pria dengan pria ataupun wanita dengan wanita serta onani atau masturbasi adalah tidak bloh bahkan haram. dasar hukum ini merupakan sebauh tolak ukur bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar kaedah dan aturan hukum islam serta orang yang melakukan hal tersebut adalah orang yang tidak mempunyai malu dan adab serta akhlak yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Juhdi Masjfuk, H., Drs., Prof., Masail Fiqiyah, Kapita selekat Hukum Islam, CV Haji Masagung. Jakarta 1994.
Departemen Agama,Al-Quran dan Terjemah. Surabaya Mahkota,Tahun 1989.
H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,prof. Drs, edisi II Cetakan ke-7, Malang,1994
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Libanon, Darul fiqr, 1981
Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyri’ Al-jinai al-Islami Muqaranan bil Qonun al-Wadhi
Moelyanto, KUHP, Jakarta, Bina Aksara, 1985, hlm.127
sumber: blognyaitik[dot]blogspot[dot]com